Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Adanya riwayat-riwayat serta atsar-atsar yang menceritakan kejelekan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, merupakan peluang besar bagi musuh-musuh Islam, baik dari dalam maupun dari luar, untuk berebut menghancurkan pilar-pilar Islam. Para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum adalah sanad pertama bagi sampainya Islam kepada seluruh kaum Muslimin di dunia. Jika sanad ini runtuh, maka runtuhlah kepastian kebenaran Islam. Pada gilirannya, kaum Muslimin pun tidak akan memiliki persepsi yang satu tentang Islam. Mereka akan berselisih pemahaman, dan akhirnya akan terpecah belah. Maka terpuruklah mereka.
“Perbedaan persepsi, perselisihan paham dan perbedaan madzhab akan mengakibatkan perpecahan fisik”. [1] Apalagi jika masalahnya menyangkut masalah prinsip ajaran Islam.
Sebelum menjawab secara garis besar tentang riwayat-riwayat ini, perlu diingatkan kembali, bahwa kewajiban setiap orang beriman ialah memuji, mendoakan, memohonkan ampun, menyanjung, serta tidak mencela sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Itulah sikap Ahlu Sunnah wal-Jama’ah terhadap para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Dalil-dalil tentang itu sangat banyak dan sudah banyak ditulis.
Intinya, Ahlu Sunnah wal-Jama’ah selalu selamat lidah dan hati mereka dari cercaan, celaan, kebencian dan kedengkian tehadap para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Allah memberikan sifat kepada Ahlu Sunnah sebagai orang-orang yang selamat hati dan lidah mereka terhadap para sahabat ini dengan firman-Nya:[2]
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (sesudah Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudarasaudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang.” [ al-Hasyr/59:10]
Berkenaan dengan ayat ini, Imam Syaukâni rahimahullah menjelaskan:
Barang siapa yang tidak memohonkan ampun kepada Allah untuk para sahabat secara keseluruhan, serta tidak memohonkan ridha Allah untuk mereka, berarti ia telah menyalahi perintah Allah dalam ayat ini. Jika seseorang mendapati suatu kebencian dalam hatinya terhadap sahabat, berarti ia telah tertimpa godaan setan dan telah dikuasai kemaksiatan yang besar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena ia telah melakukan permusuhan kepada wali-wali Allah, generasi terbaik umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah terbuka baginya pintu kehinaan yang akan mengantarkannya masuk ke dalam neraka Jahanam, jika ia tidak segera memperbaiki dirinya dengan berlindung dan meminta pertolongan kepada Allah, supaya Allah mencabut kedengkian yang mewarnai hatinya kepada generasi terbaik dan paling utama itu.
Jika kemudian, kedengkian yang ada dalam hatinya itu meluap hingga melahirkan cacian pada mulut terhadap salah seorang di antara mereka, berarti ia telah takluk pada kendali setan dan telah terjerumus ke dalam kemurkaan Allah. Penyakit akut ini hanya menimpa orang-orang yang termakan oleh ajaran Râfidhah (Syi’ah) atau terperangkap menjadi kawan bagi musuh-musuh Sahabat. Dia dipermainkan dan ditipu oleh setan dengan kedustaan-kedustaan, cerita-cerita bohong, serta kisah-kisah khurafat (tentang Sahabat). Setan telah memalingkan mereka dari Kitab Allah, kitab yang tidak bisa disentuh oleh kebatilan, baik dari arah depan maupun dari arah belakang.[3]
Berikut ini ialah penjelasan mengenai riwayatriwayat yang menceritakan kejelekan dan kesalahan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Dan dalam menghadapi riwayat riwayat yang menceritakan kejelekan dan kesalahan para sahabat, maka ada banyak hal yang harus diperhatikan:
1. Banyak di antara riwayat itu yang dusta dan palsu, seperti pemalsuan-pemalsuan riwayat yang dilakukan oleh kaum Râfidhah. Riwayat-riwayat dusta dan palsu, tentu tidak perlu lagi diperhatikan.
2. Riwayat-riwayat itu sudah banyak ditambah, dikurangi atau dirubah dari yang semestinya. Sementara itu, keutamaan para sahabat serta keadilan mereka merupakan perkara yang pasti dan meyakinkan, sehingga perkara pasti dan meyakinkan ini, tidak bisa ditinggalkan hanya karena mengikuti riwayat yang kebenarannya sudah tercampur aduk dengan kebatilan.
3. Riwayat-riwayat yang shahîh tentang kesalahan para sahabat, maka dalam hal ini, mereka ma’dzûr (termaafkan). Sebab mereka melakukannya karena ijtihad -dan mereka adalah para mujtahid yang lebih berhak untuk berijtihad dibanding para mujtahid sesudahnya. Sedangkan ijtihad dari ahli ijtihad, apabila benar, maka mendapat dua pahala. Dan apabila salah, maka mendapat satu pahala, sedangkan kesalahannya dalam berijtihad dimaafkan oleh Allah.
Dalam Shahîh Bukhâri dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَ حَكَمَ الْحَا كِمُ فَا جْتَهَدَ ثُمَّ أصَابَ فَلَهُ أ جْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَا جْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أ جْرٌ
Apabila seorang hakim memutuskan hukum, ia berijtihad (dalam hukum itu) lalu benar ijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan hukum, ia berijtihad (dalam hukum itu), kemudian ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala. [4]
4. Para sahabat ialah manusia biasa, yang secara individual kadang melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang lain pada umumnya. Secara individual, mereka tidak ma’shum dari dosa kecil maupun besar. Tetapi jika seseorang di antara mereka melakukan dosa atau kesalahan, maka ia memiliki berbagai macam penghapus dosa. Di antaranya berikut ini:
• Mereka memiliki hasanât (amal-amal kebaikan yang banyak) yang sudah terlebih dahulu dilakukan sebelum terpeleset dalam kesalahan. Juga memiliki keutamaan-keutamaan yang sangat banyak. Dimana hasanât dan keutamaan-keutamaan ini akan menghapuskan dosa-dosa yang mungkin dilakukannya. Misalnya kisah Hâthib bin Abi Balta’ah. Imam Bukhâri dan Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab shahîh masing-masing, bahwa Hâthib bin Abi Balta’ah hendak memberitahukan kepada orang-orang musyrik Quraisy tentang rencana penyerangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mekah pasca perdamaian Hudaibiyah, dengan maksud supaya orang-orang musyrikin melindungi keluarganya yang masih tinggal di Mekkah. Tetapi hal itu diketahui oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas dasar wahyu, dan wanita musyrik yang menjadi suruhan Hâthib berhasil ditangkap.
Ketika ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu ‘anhu menawarkan diri untuk menghabisi Hâthib, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدرًا وَمَا يُدْ رِيكَ لَعَلَّ اللَّه اطَّلعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْ تُ لَكُمْ
Sesungguhnya Hâthib telah turut serta dalam perang Badar. Tahukah engkau bahwa Allah telah menganugerahkan kedudukan kepada Ahli Badar? Sehingga Allah berfirman kepada mereka (artinya): “Lakukan apa saja yang kalian kehendaki, sesungguhnya Aku telah mengampuni dosa-dosa kalian”? [5]
Kisah ini menunjukkan, betapapun besar kesalahan Hâthib Radhiyallahu ‘anhu, namun ia memiliki hasanât yang dapat menghapuskan kesalahan itu. Di antaranya ialah hasanât mengikut perang Badar. Membocorkan rahasia perang merupakan suatu kejahatan besar. Namun Hâthib tetap diampuni dosa-dosanya oleh Allah, karena beliau merupakan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki keutamaan besar dan memiliki penghapus-penghapus dosa. Maka, tidak ada seorang pun sesudah beliau yang berhak mencercanya. Radhiyallâhu ‘anhu wa ‘an Jamî’I ash-Shahâbah. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman dalam surat Hûd/11 ayat 114:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.
Jika hasanât yang dilakukan oleh selain sahabat saja dapat menghapuskan dosa-dosa yang ia lakukan, apalagi jika hasanât itu dilakukan oleh para sahabat.
• Sesungguhnya pelipatgandaan nilai hasanât yang mereka miliki akan lebih banyak daripada orang lain sesudah mereka, sebab mereka adalah generasi terbaik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُو نَهُمْ ثُمَّ الَّذيْنَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian orang-orang yang sesudahnya, kemudian orangorang yang sesudahnya lagi.[6]
• Banyak sekali penghapus dosa yang dimiliki sahabat, merupakan sesuatu yang tidak dimiliki oleh generasi sesudahnya. Misalnya: taubat, amal amal kebaikan yang banyak, syafa’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau musibah duniawi yang dapat menghapus dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يَهُمُّهُ إِلاَّ كُفَّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَا تِهِ
Tidaklah menimpa kepada seorang mukmin, baik sakit berkepanjangan, kepayahan hidup, tidak sehat, kesedihan, bahkan kegundahan yang mengganggunya, kecuali dengan sebab itu, kesalahan-kesalahannya akan dihapuskan.[7]
Jika selain Sahabat dapat terhapuskan dosanya disebabkan musibah yang menimpanya, maka terlebih lagi para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum
5. Apabila dosa serta kesalahan sahabat yang jelas jelas saja diampuni dosanya, maka apalagi kesalahan-kesalahan yang masih dugaan yang diakibatkan karena ijtihad.
Jadi kesimpulannya, kesalahan yang dialami sahabat, disamping begitu sedikitnya kesalahan itu, hanya terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama, karena ijtihad yang salah. Dalam hal ini, mereka tetap mendapat pahala, sedangkan kesalahannya mendapat ampunan. Kedua, kesalahan yang bukan karena ijtihad. Dan ini lenyap dengan banyaknya hasanât serta keutamaan luar biasa yang dimiliki Sahabat.
Di antara keutamaan besar Sahabat, secara garis besar sebagai berikut :
• Iman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini merupakan amal paling utama.
• Jihad fi sabilillah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi kalimat Allah, dan ini merupakan dzirwah sanami al-Islam (puncak Islam tertinggi).
• Hijrah fi Sabilillah. Ini termasuk amal yang paling utama.
• Membela Dinullah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman tentang mereka:
وَيَنصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. [al-Hasyr/59:8].
• Ilmu nafi’ (bermanfaat) yang dimiliki oleh para Sahabat dan amal shalih mereka.
• Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah umat terbaik sesudah para nabi Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
• Mereka adalah generasi umat Islam terbaik.
Demikianlah, semoga makalah ini dapat menjadi sumbangsih bagi upaya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Islam, upaya menjaga keutuhan ajaran Islam, dan upaya memahamkan kepada umat tentang kedudukan tinggi para sahabat, sehingga umat tidak mudah dipengaruhi oleh kedustaan para musuh sahabat yang dihembuskan secara lembut.
Nas’alullâha at-Taufiq wa as-Sadad.
Marâji’:
1. Al-I’tishâm, Imam asy-Syâthibi. Tahqîq: Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilâli, Dâr Ibnu al-Qayyim dan Dâr Ibnu ‘Affan, Cetakan II, 1427 H/2006 M.
2. Fathu al-Bâri Syarh Shahih al-Bukhâri, Ibnu Hajar al-‘Asqalâni.
3. Muslim Syarh Nawawi. Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha, Dâr al-Ma’rifah, Cetakan III, 1417 H/1996M.
4. Syarh al-‘Aqîdah al-Wâsithhiyyah, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, karya Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Maktabah
al-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan VI, 1413 H/1993 M.
5. Tafsir Fathu al-Qadîr, Imam asy-Syaukâni (wafat 1250 H), Dâr al-Ma’rifah, Beirut, tauzî’ Maktabah al-Ma’ârif, Riyadh.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-I’tishâm.
[2]. Sebagaimana dikemukakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Lihat Syarh al-Aqîdah al-Wâsithhiyah, karya Syaikh Shâlih bin
Fauzân al-Fauzân, hlm. 184.
[3]. Lihat Tafsir Fathu al-Qadîr, karya Imam asy-Syaukâni (wafat 1250 H), Dâr al-Ma’rifah, Beirut, tauzî’ Maktabah al-Ma’ârif, Riyâdh, tanpa tahun V/202, tentang Qs. al-Hasyr/59 ayat 10.
[4]. HR Bukhâri, Kitab al-I’tishâm bi al-Kitâb wa as-Sunnah, no. 7352 dan Muslim, Kitâb al-Aqdhiyah, Bab: Bayân Ajri al-Hâkim idza Ijtahada, no. 4462. II/239-240 – Syarh Nawâwi, Tahqîq: Khalîl Ma’mun Syiha.
[5]. Lihat Fathu al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, VII/519, hadits no. 4274, Kitab al-Maghâzî dan Muslim Syarh Nawawi, XVI/272-273, hadits no. 6351, Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha.
[6]. HR Bukhâri dan Muslim, dari hadits Ibnu Mas’ûd. Lihat Fathu al-Bâriy, Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, V/259, hadits no. 2652, dan Shahîh Muslim Syarh Nawawi, XVI/302-303, hadits no. 6419, Tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha.
[7]. HR Bukhâri, Kitab al-Mardhâ, no.5641 dan 5642. Muslim, Kitab al-Adab: al-Birr wa ash-Shilah wa al-Adab, no. 6513, XVI/326 – Syarh Nawawi, Tahqîq: Khalil Ma’mun Syiha.